HIPANI

Himpunan Perawat Anestesi Indonesia

Indonesian Anesthesia Nurses Association

PARADOKS KEPERAWATAN: NEGARA, REGULASI PEMERINTAH DAN PERAWAT "ANESTESI"

Diterbitkan di Media Informasi
04/09/2025
Muhammad Fithri Rahmani, S. Kep, Ns, CAN
87 kali

Jakarta, 4 September 2025 – Indonesia tengah menghadapi paradoks besar dalam dunia keperawatan. Setiap tahun tercatat surplus puluhan ribu perawat baru, namun ironisnya, bidang krusial seperti layanan anestesi justru mengalami krisis tenaga keperawatan yang mengancam keberlangsungan layanan dan keselamatan pasien.

Menurut data Detik Health tahun 2025, Indonesia surplus sekitar 37.443 perawat per tahun. Namun, data Himpunan Perawat Anestesi Indonesia (HIPANI) 2025 menunjukkan hanya ada 2.538 perawat yang bekerja di pelayanan anestesi, atau hanya 0,33% dari total 764.332 perawat dengan STR aktif berdasarkan data Kementerian Kesehatan. Padahal, kebutuhan tenaga keperawatan di pelayanan anestesi terus meningkat dengan bukti rata-rata 4 hingga 6 rumah sakit setiap bulan membuka lowongan tenaga keperawatan ini, dengan jumlah rata-rata kebutuhan 2–4 orang per rumah sakit.

Masalah ini makin kompleks karena Indonesia juga kekurangan dokter spesialis anestesi. Profil Tenaga Kesehatan 2023 mencatat hanya 3.566 dokter anestesi tersedia untuk 282,4 juta penduduk (rasio 0,2 per 1.000 penduduk). Kekurangan ini seharusnya menjadi wake-up call bagi negara untuk segera turun tangan dan hadir menyelesaikan masalah ini. 

Perlu di ketahui, bahwa ini (anestesi) bukan sekadar angka statistik saja, melainkan soal hidup dan mati nyawa manusia di meja operasi. Menurut data tersebut juga sebanyak 723 RSUD bahkan belum memiliki dokter spesialis yang lengkap dan salah satunya adalah dokter spesialis anestesi, sehingga pelayanan anestesi kerap dilimpahkan kepada tenaga kesehatan lain, termasuk di antaranya adalah perawat yang belum memiliki dukungan regulasi kuat maupun jalur pendidikan formal berkelanjutan (spesialis keperawatan).

Untuk menjembatani kekosongan tersebut, HIPANI bersama PPNI menggagas kegiatan On the Job Training Perawat di Pelayanan Anestesi dengan disertai sertifikasi Keahlian/Kompetensi CBP INNA Perawat Anestesi Tingkat Dasar, yang sudah terstandardisasi melalui Komite Akreditasi Nasional (KAN) BSN dengan SNI ISO 17024:2012. Akreditasi dari KAN ini tidak hanya berlaku secara nasional, tetapi juga direkognisi secara internasional karena KAN menjadi anggota Multilateral Recognition Arrangement (MLA) dalam kerangka International Accreditation Forum (IAF). Sertifikat kompetensi yang diterbitkan oleh LSP yang diakreditasi KAN, seperti  Certified Body For Person – Indonesia National Nurses Association (CBP-INNA) memiliki legitimasi kuat, kredibel, dan setara dengan standar global. Tentunya hal ini memastikan bahwa sertifikasi Certified Basic Anesthesia Nurse  yang dijalankan PPNI dan HIPANI melalui CBP INNA tidak hanya sah di tingkat nasional, tetapi juga setara dengan standar internasional, serta  sumbangsih organisasi perawat untuk mengurai permasalahan ini, terlebih lagi dalam menyiapkan perawat yang bekerja di layanan anestesi sesuai standar global.

Antusiasme perawat terhadap penguatan dan peningkatan kompetensi di pelayanan anestesi ini begitu besar, lebih dari 500 calon peserta tercatat dalam daftar tunggu baik dari dalam maupun luar negeri, dan 40 rumah sakit telah menyatakan kesiapannya menjadi penyelenggara pelatihan perawat anestesi. Namun, semangat ini justru terhenti di hadapan tembok regulasi. Hingga kini, pemerintah belum juga membuka jalur pendidikan formal pascasarjana spesialis keperawatan anestesi dan juga kurikulum pelatihan yang belum disahkan oleh Kementerian Kesehatan, sehingga kebutuhan mendesak di lapangan tetap belum terjawab seutuhnya.

Standar global/internasional menunjukkan bahwa pendidikan perawat anestesi memiliki kerangka yang jelas dan terstruktur. Contoh seperti di Amerika, untuk menjadi Certified Registered Nurse Anesthetist (CRNA) di Amerika Serikat, syaratnya harus memiliki gelar Sarjana Keperawatan (BSN) dan lisensi Registered Nurse (RN). Mulai 2025, bahkan gelar doktoral (DNP/DNAP) menjadi syarat minimum. Pendidikan berlangsung 36 bulan penuh waktu dengan kurikulum terakreditasi oleh Council on Accreditation (COA) dan mengikuti standar IFNA. Sementara itu, di Eropa, contohnya Inggris memiliki program keperawatan anestesi yang distandardisasi sebagai pendidikan pascasarjana, serupa dengan Amerika, dan diakreditasi oleh badan keperawatan profesional. Fakta ini menegaskan bahwa secara internasional jalur pendidikan perawat anestesi ditempatkan sebagai program lanjut, profesional, dan diakui secara resmi.

Perbandingan dengan negara lain memperlihatkan ketertinggalan Indonesia. Jepang sejak 1995 sudah menyiapkan Certified Nurse Specialists (CNS), memperluas peran peri-anesthesia nurse, hingga melatih manajemen anestesi intraoperatif. Hingga 2022, Jepang mencatat ribuan perawat spesialis yang memperkuat akses anestesi di seluruh negeri. Di Australia, profesi perawat yang bekerja di layanan anestesi,  insentifnya dihargai hingga Rp750.000.000 per tahun.

Kontras dan ironi sekali dengan keadaan di Indonesia, di mana antusiasme ratusan perawat dan puluhan rumah sakit siap menyelenggarakan pelatihan anestesi, tetapi semua energi positif ini terhenti di hadapan regulasi pemerintah yang kaku dan kurang fleksibel. Alih-alih membuka jalur pendidikan pascasarjana yang dibutuhkan, perawat anestesi masih dibiarkan tanpa kepastian masa depan baik jenjang akademik maupun profesional keperawatan yang jelas.

Memang benar, Indonesia saat ini telah surplus perawat, tetapi tidak otomatis menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat. Negara harus hadir, tidak sekadar menghitung angka atau menjadikannya statistik, tetapi memastikan distribusi adil dan segera membuka dan mempermudah jalur pendidikan keperawatan spesialistik serta sertifikasi perawat anestesi yang sesuai dengan standar dan sesuai dengan kebutuhan layanan di rumah sakit agar tidak tertinggal dari negara lainnya. 

Pemerintah, DPR RI, Kemenkes, Konsil, dan Kolegium harus segera turun tangan. Bila tidak, krisis tenaga perawat di pelayanan anestesi akan terus terjadi dan pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban. 

Masalah ini menyentuh langsung amanat Pancasila, sila ke-5: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Negara tidak boleh berhenti pada angka dan retorika, atau memandang angka di atas sebagai laporan statistik saja, namun negara wajib memastikan akses layanan anestesi merata, sebagai ada bentuk konkret kehadiran pemerintah dalam menjaga nyawa rakyatnya.

Bagikan Konten

hacklink al hack forum organik hit film izle